The Djavu dengan nama kepanjangan Djakarta Vespa Uin yaitu Komunitas Mahasiswa Pecinta Vespa UIN Jakarta. Sebuah komunitas kecil namun cukup berumur karena telah berdiri sejak 2005 yg pada waktu itu masih ada kelas extensi, yaitu kelas pagi dan kelas malam.
Komunitas ini terbentuk karena kesatuan hobi namun tidak luput oleh rasa memiliki.
Berangkat dari kebersamaan maka timbulah rasa solidaritas kemudian muncul juga rasa kekeluargaan. Berangkat dari hal tersebut The Djavu memegang teguh asas Kekeluargaan. Dimana solidaritas totalitas loyalitas menjadi satu dengan rumpun kekeluargaan. Jikalau penulis gambarkan arti dari kekeluargaan adalah apabila satu keluarga sedang bersedih maka seluruh keluarga pun akan merasakan kesedihan 5nya. Begitu pun sebaliknya.
The Djavu bagi penulis adalah realisasi dari kata kata susah senang bersama.
Bukan bermaksud terlalu berlebihan, namun hal ini yang penulis rasakan tentu berdasar pada pengalaman.
The Djavu bukan bagian dari UKM kampus atau Organisasi Internal maupun LSO Fakultas yang mempunyai SK serta Legalitas Resmi dari pihak kampus UIN Jakarta, namun hasil karya Program sosial atau program lain nya yg dirangkai oleh kawan kawan The Djavu telah memperoleh apresiasi dari beberapa kampus juga segelintir masyarakat, sedikitnya nama Kampus UIN jakarta selalu tetap harum dikenal sebagai almamater yang menaungi komunitas ini. Semoga ungkapan ini jauh dari arti membanggakan atau meninggikan, tujuan nya hanya sebagai pengetahuan.
The Djavu dapat memberikan warna warni dalam kehidupan, khususnya kehidupan di lingkungan kampus UIN Jakarta yang penuh keberagaman suku, adat, budaya, organisasi, dan lain sebagainya. Proses pembelajaran, pengalaman, pendewasaan, kemandirian juga perjuangan bisa penulis dapatkan di komunitas ini. Sebagai Komunitas, The Djavu tidak bisa disandingkan dengan organisasi besar sekelas Hmi, Pmii, Imm, dan lain sebagainya. yang memiliki banyak ‘apa-apa’ dan memiliki peran yang langsung yang bisa dirasakan oleh Anggotanya. The Djavu ‘hanya’ komunitas Mahasiswa pecinta Vespa yang tidak bisa menjamin Anggota nya Sejahtera. Apalagi menjamin Anggota nya masuk didalam lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintah. Uraian Ini sangat jauh sekali barangkali perumpamaan ini sangat berlebihan.
Namun menurut pengalaman pun cerita yg menjadi realita, banyak jebolan dari organisasi besar seperti HMI atau PMII yg dimana, kader nya sangat banyak menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun non pemerintahan. Banyak tokoh yg kita kenal umpama Jusuf Kalla atau Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden, beliau adalah bagian dari organasi besar tersebut, Namun hal ini pula tidak didapatkan dengan begitu mudah dan Sia-Sia. Ibaratnya kalo kata orang Ciputat "Tidak ada makan siang Gratis" pasti banyak perjuangan juga perorbanan yg telah dilalui begitulah kiranya. Mungkin hanya selingan dari pengetahuan penulis saja hehe.
Sifat kemandirian dari sosok Komunitas The Djavu ini yg membuat penulis merasa Terkagum-Kagum bahkan kadang merasa heran ketika The Djavu lebih dikenal dengan Kegiatan Sosial nya, ya walaupun masih dikenal Urakan oleh sebagian orang, tapi memang benar kenyataan.
Namun Penilaian serta sebutan The Djavu masih eksis dalam kegiatan sosial, ini menjadi refleksi penulis, bahkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh Anggota The Djavu, juga menjadi sebuah pertanyaan bagi seluruh Anggota The Djavu. Apakah lontaran tersebut masih akan tetap di sematkan ? Atau hilang tidak dilanjutkan hanya menjadi kenangan ?
Seluruh Perhelatan kegiatan Sosial The Djavu yang sudah diagendakan dari tahun ke tahun, contohnya : Aksi dedikasi Vespa untuk Masyarakat ( Adventura ) , Khitanan Massal, Vespa Berbagi Berkah, Vespa Bernabung, Bakti sosial bencana alam, juga kegiatan kemanusiaan lain nya.
Apakah dari beberapa kegiatan tersebut masih bisa digapai dan diteruskan oleh seluruh Anggota The djavu ?
Suatu pertanyaan yg harus dijawab dengan pengaplikasian, dan keseriusan dalam menyikapi dan jawaban bagaimana nasib The Djavu selanjutnya ?
Perlu diketahui Apa yang penulis lakukan ini tidak lebih dari sekedar refleksi tentang The Djavu yang jauh dari memenuhi syarat untuk dikategorikan ‘ilmiah.’ Penulis melihat The Djavu dengan kapasitas pengetahuan seorang Anggota biasa.
Rasa memiliki atau biasa disebut dengan sense of belonging bukanlah sesuatu yang terlihat, tetapi muncul dalam wujud energi positif untuk menjaga dan merawat komunitas di setiap situasi dan keadaan. Kesadaran setiap pihak di dalam komunitas untuk memiliki sikap, perilaku, kualitas, dan tindakan yang menjaga perusahaan dari setiap potensi masalah secara utuh adalah benih untuk munculnya rasa memiliki. Kesetiaan dan rasa memiliki adalah bagian dari pengabdian yang diberikan kepada The Djavu.
Intinya Celoteh serta coretan ini sebagai Self reminder khususnya bagi penulis, umumnya bagi seluruh keluarga besar The Djavu. Karena amat disayangkan ketika kegiatan kemanusiaan yg telah diluncurkan dan terhitung agak lumayan untuk diketahui perorangan, akan hilang begitu saja tanpa keberlanjutan.
Tutur senior yg mengibaratkan komunitas ini sebagai Macan, Dia berkata bahwa The Djavu sudah tidak ada Taring nya akan semakin nyata jika benar kegiatan serta kebersamaan nya mulai hilang.
Penulis sudah terpikir Alangkah sedih nya para sesepuh terdahulu yg sudah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran serta materi yg tak bisa diulangi lagi. Ada Tutur Mereka (Sesepuh The Djavu) yang menyadarkan penulis, bahwa nafas dari komunitas ini adalah Silaturahmi, maka ketika Silaturahmi sudah tidak ada lagi, artinya menandakan bahwa komunitas ini sudah mati kalau tidak berjalan nya Silaturahmi dan Rasa Memiliki.
Mengutip tulisan yg menurut penulis juga sebagai keresahan serta Self Reminder dari senior Ciputat yaitu Ang Zen Zainal dari blog pribadinya mengumpakan bahwa
Rasa memiliki itu memberi, bukan diberi. Dalam rasa yang seperti ini, pola interaksinya adalah: “aku” dan “kamu” bukan “aku” dan “sesuatu”. Dalam pola seperti ini, kita memposisikan masing-masing pasangan sebagai manusia yang punya keinginan, punya otonomi dan kemandirian, punya ego. Karena itu dalam pola yang seperti ini pasangan "berdiri sama tinggi duduk sama rendah" dan saling menghormati. Dalam pola seperti ini, tak ada keinginan salah satu harus menjadi apa yang diinginkan oleh yang lain. Keduanya harus menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi apa yang diinginkan pasangannya. Karena itu rasa memiliki seperti ini adalah yang “menjadi”. Satu model rasa memiliki yang dinamis dan senantiasa dibentuk dalam perjalanan. Berdialektika menaiki tangga tanpa henti. Berproses untuk semakin dewasa, semakin mawas diri, semakin arif, semakin militan dan lain-lain.
Dan seharunya rasa memiliki di The Djavu ini adalah cinta “memberi”. Karena itu pulalah orang bijak berkata: jangan kau tanya apa yang telah kau dapatkan dari bangsamu, tapi bertanyalah apa yang telah kau berikan buat bangsamu itu.
Kalau ada seorang anggota yang masih berpikir dirinya tidak mendapatkan apa-apa dari The Djavu, seperti penulis, maka anggota tersebut belumlah menghayati bagaimana seharusnya dia menghidupi The Djavu. The Djavu tidak bisa memberikan apa-apa. Kita yang harus memberi, karena menurut Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi.
Seharusnya seperti itulah kita menghidupi The Djavu.
Semoga ini menjadi kaca cerminan untuk penulis sendiri.
Sekian Terima Kasih
Komunitas ini terbentuk karena kesatuan hobi namun tidak luput oleh rasa memiliki.
Berangkat dari kebersamaan maka timbulah rasa solidaritas kemudian muncul juga rasa kekeluargaan. Berangkat dari hal tersebut The Djavu memegang teguh asas Kekeluargaan. Dimana solidaritas totalitas loyalitas menjadi satu dengan rumpun kekeluargaan. Jikalau penulis gambarkan arti dari kekeluargaan adalah apabila satu keluarga sedang bersedih maka seluruh keluarga pun akan merasakan kesedihan 5nya. Begitu pun sebaliknya.
The Djavu bagi penulis adalah realisasi dari kata kata susah senang bersama.
Bukan bermaksud terlalu berlebihan, namun hal ini yang penulis rasakan tentu berdasar pada pengalaman.
The Djavu bukan bagian dari UKM kampus atau Organisasi Internal maupun LSO Fakultas yang mempunyai SK serta Legalitas Resmi dari pihak kampus UIN Jakarta, namun hasil karya Program sosial atau program lain nya yg dirangkai oleh kawan kawan The Djavu telah memperoleh apresiasi dari beberapa kampus juga segelintir masyarakat, sedikitnya nama Kampus UIN jakarta selalu tetap harum dikenal sebagai almamater yang menaungi komunitas ini. Semoga ungkapan ini jauh dari arti membanggakan atau meninggikan, tujuan nya hanya sebagai pengetahuan.
The Djavu dapat memberikan warna warni dalam kehidupan, khususnya kehidupan di lingkungan kampus UIN Jakarta yang penuh keberagaman suku, adat, budaya, organisasi, dan lain sebagainya. Proses pembelajaran, pengalaman, pendewasaan, kemandirian juga perjuangan bisa penulis dapatkan di komunitas ini. Sebagai Komunitas, The Djavu tidak bisa disandingkan dengan organisasi besar sekelas Hmi, Pmii, Imm, dan lain sebagainya. yang memiliki banyak ‘apa-apa’ dan memiliki peran yang langsung yang bisa dirasakan oleh Anggotanya. The Djavu ‘hanya’ komunitas Mahasiswa pecinta Vespa yang tidak bisa menjamin Anggota nya Sejahtera. Apalagi menjamin Anggota nya masuk didalam lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintah. Uraian Ini sangat jauh sekali barangkali perumpamaan ini sangat berlebihan.
Namun menurut pengalaman pun cerita yg menjadi realita, banyak jebolan dari organisasi besar seperti HMI atau PMII yg dimana, kader nya sangat banyak menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun non pemerintahan. Banyak tokoh yg kita kenal umpama Jusuf Kalla atau Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden, beliau adalah bagian dari organasi besar tersebut, Namun hal ini pula tidak didapatkan dengan begitu mudah dan Sia-Sia. Ibaratnya kalo kata orang Ciputat "Tidak ada makan siang Gratis" pasti banyak perjuangan juga perorbanan yg telah dilalui begitulah kiranya. Mungkin hanya selingan dari pengetahuan penulis saja hehe.
Sifat kemandirian dari sosok Komunitas The Djavu ini yg membuat penulis merasa Terkagum-Kagum bahkan kadang merasa heran ketika The Djavu lebih dikenal dengan Kegiatan Sosial nya, ya walaupun masih dikenal Urakan oleh sebagian orang, tapi memang benar kenyataan.
Namun Penilaian serta sebutan The Djavu masih eksis dalam kegiatan sosial, ini menjadi refleksi penulis, bahkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh Anggota The Djavu, juga menjadi sebuah pertanyaan bagi seluruh Anggota The Djavu. Apakah lontaran tersebut masih akan tetap di sematkan ? Atau hilang tidak dilanjutkan hanya menjadi kenangan ?
Seluruh Perhelatan kegiatan Sosial The Djavu yang sudah diagendakan dari tahun ke tahun, contohnya : Aksi dedikasi Vespa untuk Masyarakat ( Adventura ) , Khitanan Massal, Vespa Berbagi Berkah, Vespa Bernabung, Bakti sosial bencana alam, juga kegiatan kemanusiaan lain nya.
Apakah dari beberapa kegiatan tersebut masih bisa digapai dan diteruskan oleh seluruh Anggota The djavu ?
Suatu pertanyaan yg harus dijawab dengan pengaplikasian, dan keseriusan dalam menyikapi dan jawaban bagaimana nasib The Djavu selanjutnya ?
Perlu diketahui Apa yang penulis lakukan ini tidak lebih dari sekedar refleksi tentang The Djavu yang jauh dari memenuhi syarat untuk dikategorikan ‘ilmiah.’ Penulis melihat The Djavu dengan kapasitas pengetahuan seorang Anggota biasa.
Rasa memiliki atau biasa disebut dengan sense of belonging bukanlah sesuatu yang terlihat, tetapi muncul dalam wujud energi positif untuk menjaga dan merawat komunitas di setiap situasi dan keadaan. Kesadaran setiap pihak di dalam komunitas untuk memiliki sikap, perilaku, kualitas, dan tindakan yang menjaga perusahaan dari setiap potensi masalah secara utuh adalah benih untuk munculnya rasa memiliki. Kesetiaan dan rasa memiliki adalah bagian dari pengabdian yang diberikan kepada The Djavu.
Intinya Celoteh serta coretan ini sebagai Self reminder khususnya bagi penulis, umumnya bagi seluruh keluarga besar The Djavu. Karena amat disayangkan ketika kegiatan kemanusiaan yg telah diluncurkan dan terhitung agak lumayan untuk diketahui perorangan, akan hilang begitu saja tanpa keberlanjutan.
Tutur senior yg mengibaratkan komunitas ini sebagai Macan, Dia berkata bahwa The Djavu sudah tidak ada Taring nya akan semakin nyata jika benar kegiatan serta kebersamaan nya mulai hilang.
Penulis sudah terpikir Alangkah sedih nya para sesepuh terdahulu yg sudah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran serta materi yg tak bisa diulangi lagi. Ada Tutur Mereka (Sesepuh The Djavu) yang menyadarkan penulis, bahwa nafas dari komunitas ini adalah Silaturahmi, maka ketika Silaturahmi sudah tidak ada lagi, artinya menandakan bahwa komunitas ini sudah mati kalau tidak berjalan nya Silaturahmi dan Rasa Memiliki.
Mengutip tulisan yg menurut penulis juga sebagai keresahan serta Self Reminder dari senior Ciputat yaitu Ang Zen Zainal dari blog pribadinya mengumpakan bahwa
Rasa memiliki itu memberi, bukan diberi. Dalam rasa yang seperti ini, pola interaksinya adalah: “aku” dan “kamu” bukan “aku” dan “sesuatu”. Dalam pola seperti ini, kita memposisikan masing-masing pasangan sebagai manusia yang punya keinginan, punya otonomi dan kemandirian, punya ego. Karena itu dalam pola yang seperti ini pasangan "berdiri sama tinggi duduk sama rendah" dan saling menghormati. Dalam pola seperti ini, tak ada keinginan salah satu harus menjadi apa yang diinginkan oleh yang lain. Keduanya harus menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi apa yang diinginkan pasangannya. Karena itu rasa memiliki seperti ini adalah yang “menjadi”. Satu model rasa memiliki yang dinamis dan senantiasa dibentuk dalam perjalanan. Berdialektika menaiki tangga tanpa henti. Berproses untuk semakin dewasa, semakin mawas diri, semakin arif, semakin militan dan lain-lain.
Dan seharunya rasa memiliki di The Djavu ini adalah cinta “memberi”. Karena itu pulalah orang bijak berkata: jangan kau tanya apa yang telah kau dapatkan dari bangsamu, tapi bertanyalah apa yang telah kau berikan buat bangsamu itu.
Kalau ada seorang anggota yang masih berpikir dirinya tidak mendapatkan apa-apa dari The Djavu, seperti penulis, maka anggota tersebut belumlah menghayati bagaimana seharusnya dia menghidupi The Djavu. The Djavu tidak bisa memberikan apa-apa. Kita yang harus memberi, karena menurut Fromm, ketika kita memberi, maka kita menerima. Menerima adalah konsekuensi logis dari tindakan memberi.
Seharusnya seperti itulah kita menghidupi The Djavu.
Semoga ini menjadi kaca cerminan untuk penulis sendiri.
Sekian Terima Kasih